Fenomena berkembangnya istilah baru untuk merendahkan orang di era media sosial

Table of Contents

Bahasa Baru Para Pencaci: Ketika Istilah Jadi Alat Merendahkan


Bahasa adalah cermin dari budaya. Tapi apa jadinya ketika bahasa justru jadi senjata untuk mencaci? Di era digital saat ini, kita menyaksikan lahirnya istilah-istilah baru yang awalnya terasa ringan dan lucu, namun perlahan berubah menjadi alat ampuh untuk merendahkan sesama.

Istilah Gaul, Tapi Menyakiti

Pernah dengar seseorang dipanggil "bocil" hanya karena pendapatnya dianggap belum dewasa? Atau dicap "halu" karena punya impian yang besar? Kata-kata ini terdengar biasa saja, bahkan sering dibungkus dalam candaan. Tapi sesungguhnya, di baliknya ada bentuk penindasan verbal yang halus namun menyakitkan.

“Yang menyakitkan bukan kata-kata kasar, tapi sindiran yang dikemas lucu agar korban tidak bisa marah.”

Istilah seperti si paling, auto cringe, copas mulu, hingga netizen +62 kini tak sekadar menjadi bahasa internet — tapi sudah menjelma jadi peluru untuk menjatuhkan harga diri orang lain secara tersamar.

Normalisasi Cacian = Budaya Rusak

Celakanya, karena dibungkus humor, banyak orang merasa sah-sah saja melempar istilah itu ke sembarang orang. Ini yang disebut normalisasi kekerasan verbal. Kita jadi terbiasa mengomentari fisik, cara bicara, pilihan hidup seseorang — seolah kita hakim moral.

Masyarakat yang sakit bukan yang keras suaranya, tapi yang kehilangan empati dalam menyusun kalimat. Ketika setiap komentar terasa ingin menjatuhkan, bukan memahami, maka percakapan berubah menjadi ajang saling tikam.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

  • Sadar bahwa kata bisa melukai. Pilihlah istilah yang membangun, bukan yang mempermalukan.
  • Tidak ikut latah. Jangan hanya karena istilah sedang tren, kita ikut-ikutan menggunakannya tanpa berpikir dampaknya.
  • Berani menegur secara elegan. Ketika melihat orang merendahkan yang lain, kita bisa menyela dengan cara yang sopan tapi tegas.

Dunia maya tidak butuh lebih banyak istilah caci-maki. Dunia maya butuh lebih banyak kata-kata yang mendinginkan kepala dan menghangatkan hati.

Penutup

Ingatlah, setiap zaman akan selalu melahirkan bahasa baru. Tapi kualitas peradaban ditentukan oleh cara kita menggunakannya. Maka daripada menciptakan istilah untuk menjatuhkan, mari mulai menciptakan istilah untuk saling menguatkan.

“Bahasa adalah senjata. Pilihlah apakah ingin melukai atau menyembuhkan.”

Ditulis oleh: Penadodi

Posting Komentar