Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Horror Paling menakutkan Zombie's DNA

Oleh : Suci Anggraeni

Seorang pria membanting kap mobilnya, kendaraan seharga 200 juta itu tak akan berguna tanpa bahan bakar. Malam semakin larut, sementara di dalam mobil van... seorang gadis tengah sekarat.
"Wan... aku akan mati," rengek Yul dari dalam mobil.
"Kau tidak akan mati!" Suara Wawan meninggi. Ia panik, ia ketakutan... bayangan tentang apa yang akan terjadi pada Yul--adik perempuannya--dalam 5 jam ke depan begitu mengerikan.
"Saat matahari terbit, Wan. Apa bedanya mati sekarang dan nanti? Setidaknya... biarkan aku mati dalam wujud manusia." Yul terus-menerus mengigau. Suhu tubuh gadis turun drastis, dingin seperti mayat.

"Berhenti membuatku kesal, Yul!" bentak Wawan. Meski ia tahu itu percuma, adiknya sudah memasuki fase klinis. Ia akan terus mengigau dan merancau, suhu tubuhnya akan semakin menurun, juga kulit yang semakin pucat. Yul hanya memiliki waktu kurang dari 5 jam sampai benar-benar mati. Bukan mati dalam artian yang sebenarnya, karena ia akan 'hidup lagi' dalam wujud Zombie.
"Tembak kepalanya!"
Suara tenor yang sangat asing mengalihkan perhatian Wawan. Sosok kurus dengan setelan kemeja putih, dan sebuah shotguns tipe AK-47 tergantung di pundak.
Wawan bergeming, ia memicingkan matanya, berharap bisa melihat wajah si pemuda kurus dengan lebih jelas.
''I'm Will," ujar pemuda yang ternyata memiliki wajah yang sangat manis.
"Aku Wawan. Dan yang ingin kau tembak kepalanya itu, Adikku, Yul."
Wawan yang terkenal sangat tempramental itu menatap Will, sinis.
"I see... tadi aku hanya memberikan saran. Kau ini kaku sekali," ujar Will. Ia tampak sangat tenang, tersenyum manis pada Yul yang tak memiliki sisa tenaga lagi.
"Jadi, kau ingin ia tetap hidup?"
"Pertanyaan macam apa itu?! Tentu sa--"
"Meskipun ia akan berubah menjadi Zombie dengan 80% kemungkinan bisa membunuhmu jika kau tidak menembak kepalanya?"
Will menatap lurus mata Wawan, meski perbedaan tinggi dan bentuk badan di antara mereka cukup jauh, tetapi tak tampak rasa gentar dari sosok Will--yang tampilannya seperti remaja berusia 16 tahun--di hadapan Wawan.
"Aku tak mungkin membunuh adikku sendiri," gumam pria dengan wajah yang sangat kusut itu.
"Artinya kau ingin dia membunuhmu," timpal Will.
''Apa yang kau inginkan?" tanya Wawan.
"Kak... apa itu suara ibu? Apa dia sudah pulang dari pasar? Bu...." Yul kembali mengigau. Will mengintip keadaan gadis itu dari balik jendela mobil.
"Sudah berapa lama dia terkena virus?"
"Sekitar satu setengah jam."
"Mobilmu mogok?"
"Ya."
Tanpa meminta izin dari Wawan, Will masuk ke dalam mobil van. Tampak sosok gadis yang begitu lemah, pemuda kurus itu menatap sendu betis Yul yang dibalut kain seadanya.
"Hei, Oldman, bersumpahlah!"
"Aku tidak menger--"
"Bersumpahlah untuk adikmu. Jangan katakan pada siapapun apa yang kau lihat," titah Will.
"Apa maksudmu?" Wawan benar-benar merasa nyaris gila, ia sama sekali tidak mengerti maksud Will. Di saat yang sama, pria itu sangat takut kehilangan adiknya.
Will tampak menggulung lengan kemejanya, "kau punya peralatan medis?" Tanya Will.
"Ya, tentu."
Meski tak terlalu mengerti, namun Wawan enggan bertanya. Ia membuka pintu depan mobil, mengambil peralatan P3K sederhana yang ia bawa dari kota.
"Kau sudah mencoba mengobatinya?"
"Ya, aku menyiramkan alkohol di lukanya, kemudian menyuntikkan anti-biotik. Itu bisa memperlambat penyebarannya, kan?"
Will mengangguk, ia membuka kotak P3K itu. Menggambil satu alat suntik, memasangkan jarum baru, kemudian meraih kapas.
"Bersumpahlah kau tidak akan mengatakan kepada siapapun hal ini."
"Apa yang akan kau lakukan?"
"Memberikan adikmu sedikit waktu lagi," suara Will sangat pelan.
"Baiklah, aku bersumpah! Aku bersumpah dengan sepenuh jiwaku! Tapi, kumohon... selamatkan adikku."
Will melirik Wawan yang mengiba dengan sungguh-sungguh di luar sana. Pemuda itu menghela nafas, ia mengarahkan jarum suntik itu ke lengannya, tepat di pembuluh darah. Dengan satu tarikkan perlahan, tampak cairan merah pekat mulai mengisi alat suntik berukuran medium itu.
Setelah mengisi suntik itu dengan darahnya, Will meraih kapas dan plaster untuk menutup bekas suntikkan.
-
"Belum ditemukan vaksin ataupun penawarnya, kau tahu? Tapi... Aku tahu satu cara untuk memperlambat penyebaran virus zombie," ujar Will.
"Be--benarkah?" Wawan mengintip dari luar mobil, ia benar-benar bingung dengan sosok bernama Will itu.
''Kau percaya padaku? Kalau penelitianku tidak meleset, ini akan membuat adikmu bertahan selama tiga sampai empat minggu ke depan."
"Kumohon lakukanlah! Kami tidak punya harapan ataupun pilihan lagi...," pinta Wawan.
"Baiklah," sahut Will. Ia mengarahkan suntik itu ke pundak Yul, tepat di pembuluh darahnya.
"Shuut," saat itu juga darah Will berpindah ke tubuh Yul.
-
Di sebuah ruangan bawah tanah, tersusun rapih kursi dan meja kayu layaknya ruang tamu biasa. Will menyeduhkan tiga gelas teh hijau di atas meja. Wawan dan Yul diam termenung.
"Ini teh terbaik di San Fransisco," ujar Will.
"Ugh... Mister, bagaimana bisa an--"
"Kalian sukarelawan?" Will memotong ucapan Yul, seperti sudah menjadi kebiasaannya.
"Ehm, ya. Kami sebenarnya hanya ingin melakukan riset," sahut Yul.
"Kepada zombie? Konyol sekali...," cibir Will.
"Kau sendiri tinggal di sebuah desa yang dipenuhi zombie." Wawan membalas ejekkan Will.
"Yeah, terkadang kita diletakkan pada dua pilihan buruk. Dan harus memilih mana yang tidak terlalu buruk," gumam Will.
"Kalian tahu tentang APV-VZ?" tanya Will pada kedua tamunya.
"Asosiasi Penelitian Vaksin-Virus Zombie? Mereka semua hebat, mengabdikan hidupnya untuk mencari vaksin yang akan menghilangkan virus zombie," ujar Yul.
"Ya, nona manis... mereka memang seperti itu, setidaknya di mata masyarakat. Mereka akan mencari penawar untuk virus itu. Meski... harus mengorbankan banyak waktu, harta, dan... nyawa." Sinis dan penuh kebencian, itu yang tampak saat Will berbicara.
"Kau salah! APV-VZ tidak seperti itu. Mereka sangat baik...," elak Yul.
"Diam, Yul! Ingatlah dia yang menyelamatkan nyawamu," bentak Wawan. Kemudian Yul menunduk lesu.
"Jadi, bagaimana bisa kau me--"
"DNA, aku memiliki DNA istimewa yang kebal terhadap virus zombie. Dan APV-VZ membutuhkan orang-orang sepertiku. Memungut kami dari jalanan, kehausan, kelaparan, sendirian... tanpa harapan."
Wawan dan Yul menatap Will... antara terkejut dan tidak percaya, semua terlukis jelas di wajah mereka. Will menyeruput teh miliknya, akan ada cerita panjang yang perlu didengar kedua orang di hadapan pria itu.
"APV-VZ memberikan kami kehidupan, tempat tidur yang empuk, makanan, juga pakaian. Kami pikir itu semua gratis dan tulus, tapi... tidak ada yang gratis di dunia ini, kan? Harga dari kehidupan itu adalah... nyawa kami."
"Kau tahu, Oldman dan... Nona manis? Zombie disini mungkin telah kehilangan ingatan dan akal sehat mereka. Tapi, manusia di luar sana justru kehilangan hati mereka. APVA-VZ bagiku, jauh lebih kejam daripada Zombie."
"Ya Tuhan...," Yul menutup mulutnya. Mata gadis itu berkaca-kaca, seperti kebanyakan perempuan... ia memiliki hati yang sangat peka.
"Kau benar-benar menutup diri. Lalu, kenapa kau mau menolong kami, membocorkan rahasia sebesar itu?" Tanya Wawan.
"Jawabannya ada di wajah adikmu. Hal sial bagiku, ia sangat... mirip," Will menghentikan ucapannya.
"Dengan?"
"Gazela," Will menarik nafas dalam, "ia adalah gadis yang membatuku kabur dari pasukan khusus yang bekerja untuk APV-VZ. Ia korbankan nyawanya untukku," sambung Will.
"Oh... maaf," Yul menunduk.
"Kau belum aman, Yul. Kau akan terus membutuhkan DNA dalam darahku. Dan itu sangat mustahil untuk kulakukan," gumam Will.
"Akh... iya! Begini sudah lebih dari cukup. Aku akan memanfaatkan sisa hidupku sebagai manusia dengan baik. Berjanjilah, kak... kau harus merelakanku dengan baik," ujar Yul, ia tersenyum sangat manis. Dan senyum itu melukai Wawan lebih dari apapun.
"Ya," gumam Wawan.
-
Di perjalanan menuju pusat kota, Yul bersenandung kecil, tersenyum menatal ladang ilalang yang sangat luas. Sementara Wawan yang sedang mengemudi mobil van putih itu tampak pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya.
"Kita bersyukur ada orang sebaik Will, ia bahkan mengizinkan kita mengambil sedikit bensin dari mobilnya," ujar Yul.
"Ya, tentu."
Wawan menatap lurus jalanan, tentu saja ia sangat berterima kasih pada pemuda itu. Tetapi, tak dapat dipungkiri bahwa jabatan General Maneger di PT.APV-VZ yang ia perjuangkan selama 10 tahun itu sangat sulit untuk dikorbankan dengan seorang pemuda baik hati yang baru ia kenal tadi malam.
Ia melirik adiknya, Yul. Gadis itu tidak tahu apa-apa, ia bahkan tidak tahu kalau kakaknya bekerja di APV-VZ.
-
Dua setengah minggu berlalu setelah kedatangan Wawan dan Yul ke rumah Will, mereka adalah tamu pertama sekaligus terakhir bagi pemuda kurus itu.
Bruak!
Suara pintu di dobrak menghentikan lamunan Will. Ia segera meraih shotguns, seperti biasanya... tipe AK-47 adalah pilihan pemuda itu. Sudah sangat lama sejak Zombie terakhir yang berhasil mencium keberadaannya. Will bersiap dengan senjata api laras panjang itu, menatap lurus pintu yang akan segera terbuka.
Bruak!
Tepat saat pintu itu terbuka, Will segera membidik. Namun bukan Zombie yang bertamu, lebih buruk dari itu... beberapa orang bersenjata handsguns dengan pakaian rapih muncul di hadapan Will.
"Hai... anak istimewa kesayanganku. Kau bertambah besar, ya?"
Suara yang tidak asing mengagetkan Will, kemudian muncul seorang pria tua dengan setelan jas mahal, sepatu pantofel mengkilap, dan rambut beruban yang ditata rapih. Pria berusia setengah abad itu tersenyum menatap Will.
"Kau tahu, Will... sudah bertahun-tahun kami kehabisan anak dengan DNA istimewa sepertimu. Penelitian kami benar-benar nyaris berakhir... lalu terpikir oleh kami untuk mencarimu. Kami beberapa kali mengirimkan orang ke tempat ini, sedikit berbahaya memang, tapi biaya yang kami keluarkan akhirnya terbayar saat kaki tangan terbaik kami berhasil menyentuh hati nuranimu," pria tua itu bermonolog di hadapan Will.
"Kaki tanganmu?" Mulut Will terkatup, matanya menyiratkan ketidak percayaan. Hingga kemudian muncul Wawan dari balik beberapa orang bersenjata itu.
"Maaf, Will... aku benar-benar--"
"Sialan, kau...," umpat Will. Pemuda itu membidik shotguns miliknya ke kepala Wawan.
"Oh... tenang, tenang... Will. Kau bisa menembak dia yang sama sekali tidak berharga, tapi... bagaimana jika aku tunjukkan ini?"
Pria tua itu menunjukkan sebuah ponsel ke hadapan Will, tampak sebuah video singkat menampilkan seorang gadis berambut brown bergelombang. Ia terbaring lemah dengan beberapa alat medis yang menopang kehidupannya.
"Gazela... ia masih hidup?"
"Ohoho... terkadang kita harus menjaga umpan kita tetap segar untuk memikat ikan kerapu," ujar si pria tua.
"Kalian semua sialan! Kejam! Bajingan!" umpat Will tiada henti. Wajah pemuda itu memerah sampai ke telinganya. Ia menatap muak pria tua itu.
"Apa yang kalian inginkan?"

Posting Komentar untuk "Kisah Horror Paling menakutkan Zombie's DNA"