Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerita Misteri Terseram Wanita pengecap darah



Oleh : Zie Qarisa Sasmi

Hutan Bukit Rel di Kabupaten Wajok Kecamatan Siantan Hilir, Pontianak Utara sudah terkenal akan keangkerannya. Konon di sana masih terdapat pohon-pohon raksasa yang beserta makhluk-makhluk gaib sejenis jin-jin jahat. Di sana bahkan sinar matahari susah untuk menembus rimbunan hutan. Tapi entah mengapa SMA N 05 mengadakan camping di sana.
"Aduh! Apa tidak bisa camping tempat lain, Pak Medi?" ucap Bu Rima sebagai panitia camping sekolah.
"Bu Rima takut ya? jangan terlalu percaya takhayul, Bu!"
"Bukan masalah takhayul, Pak! Tapi ini demi keselamatan anak-anak. Kita tidak boleh mengabaikan mereka, Pak!"
"Sudahlah, Bu! Jangan khawatir, kita akan menjaga anak-anak dengan baik dan tanggung jawab," ucap pak Medi dengan meyakinkan.
Bu Rima tidak kuasa melanjutkan pembicaraan, karena dia merasa percuma berdebat dengan pak Medi yang tidak percaya dengan hal-hal mistis.


Akhirnya hari yang ditentukan pun tiba, murid-murid SMA N 05 yang dipimpin beberapa guru mereka pun berangkat ke hutan Bukit Rel. Jumlah murid yang ikut lumayan banyak sekitar 80 orang, sedangkan guru pembimbing yang ikut sebanyak 5 orang. Terdiri dari Pak Medi ketua panitia, Pak Agung, Pak Zunaidi, Bu Rima dan Bu Karin. Murid-murid yang aktif di kepramukaan saja yang ikut camping.
"Bu Rima, masih jauhkah perjalanan kita?" tanya Siska salah satu murid.
"Setengah jam lagi kita akan sampai ke depan gerbang Hutan Rel, dan butuh 1 jam perjalanan menuju tempat camping," jelas bu Rima.
"Waduh! Jauh sekali, Bu!" sambung Beno.
"Belum sampai di gerbang hutan saja sudah serem," kata Siska sambil memandang kanan kiri jalan.
Rombongan camping itu menggunakan 2 buah bus sekolah, yang hanya bisa mengantar mereka sampai di gerbang hutan. Selanjutnya mereka harus berjalan kaki menyusuri hutan tersebut.
Setelah setengah jam, bus berhenti di gerbang hutan. Tertera jelas dengan papan nama Hutan Bukit Rel di atas gerbang kayu berbingkai besi berkarat. Tampak begitu angker terukir di papan berwarna hitam.
"Baiklah anak-anak! Kita sudah tiba di gerbang, perjalanan selanjutnya akan kita tempuh dengan berjalan kaki!" kara pak Medi dengan pengeras suara.
"Pak Agung dan Pak Zunaidi akan berjalan di belakang rombongan, Bu Karin di tengah rombongan, sedangkan saya dan Bu Rima berjalan di depan rombongan," ucap pak Medi kemudian.
Setelah mengatur barisan dengan rapi, murid-murid dan para guru pun mulai berjalan memasuki hutan tersebut.

Perjalanan menuju tempat camping sangatlah melelahkan. Karna medan yang ditempuh naik-turun, belum lagi kondisi jalan yang sedikit becek. Maklum saja hutan itu sangat rimbun dan lembab.
"Hutan ini terasa aneh," ujar Siska.
"Iya! Aku jadi merinding dari awal masuk gerbang," kata Bella yang berjalan di samping Siska.
Rombongan murid beserta guru itu pun menyusuri jalan. Banyak di antara mereka yang bergidik, bahkan murid-murid perempuan tampak tak berani memandang samping kiri maupun kanan jalan. Sedangkan ada yang berbincang-bincang sambil jalan mengusir rasa takut di hati mereka. Tiba-tiba,
"Braaakkkkk!"
"Aaakkkkhhhhhh!" Sebuah ranting pohon jatuh tepat di sisi jalan, dan secara spontan murid-murid yang kaget menjerit bersamaan.
"Tenang anak-anak! Cuma ranting pohon yang jatuh," jelas pak Medi menenagkan.
"Mari kita lanjutkan perjalanan sebelum gelap!"
"Hampir copot jantungku!" ucap bu Karin.
Kemudian perjalanan dilanjutkan, karena mereka berharap cepat tiba di tempat tujuan. Benar saja setelah satu jam berjalan. Rombongan pun tiba di tanah yang lapang di tengah hutan.
"Anak-anak! Kita sudah sampai tujuan, anak laki-laki cepat dirikan tenda sebagian, sebagian lagi cari kayu bakar untuk api unggun. Sedangkan anak-anak perempuan dan bu guru bisa memasak untuk makan kita."
Pak Medi memberi tugas dengan pengeras suara. Ada beberapa anak laki-laki dipimpin pak Agung menuju ke mata air. Mereka membawa beberapa jerigen dan ember untuk menampung air bersih.
"Anak-anak! Bantu ibu mencuci beras!" pesan bu Karin pada anak laki-laki yang mengambil air bersih.
Hari sudah mulai gelap, meski baru pukul 17:00 WIB. Tenda-tenda sudah berdiri, api unggun juga sudah siap dihidupkan. Sedangkan makan malam yang dipersiapkan oleh guru wanita beserta murid-murid perempuan juga hampir siap.
"Bu Karin! Saya masak nasi untuk makan malam kita dari tadi, sampai sekarang kok belum tanak-tanak, Bu?" ujar bu Rima heran.
"Maksud Bu Rima?"
"Iya, dari tadi saya coba nasi itu mentah, Bu!"
"Kok aneh! Coba Bu Rima beritahu pada Pak Medi!" kata bu Karin tak yakin.
Bu Rima pun meminta seseorang muridnya untuk memberitahu masalah mereka.
Pak Zunaidi dan Pak Medi datang dengan sedikit heran.
"Ada apa, Bu Rima?" tanya pak Zunaidi.
"Ini, Pak! Dari jam 16:30 WIB sampai sekarang nasi yang saya tanak, tidak masak-masak. Masih mentah, Pak!"
Pak Medi melirik jam tangannya, waktu menuju pukul 17:50 WIB. Aneh juga selama itu nasi masih mentah.
"Kurang air mungkin, Bu!" kata pak Medi.
"Tidak mungkin, Pak! Saya sudah biasa masak meski jumlah banyak!" jawab bu Rima.
Secara tidak sengaja pembicaraan para guru didengar oleh Nuri, salah satu siswa. Dan dia pun memberanikan diri untuk menyela pembicaraan.
"Maaf, Pak! Bu! Boleh saya yang masak nasi baru?" tanyanya.
"Kamu bisa, Nur?" tanya bu Karin kurang yakin.
"Insya Allah, Bu!"
"Biarkan Nuri mencoba, mungkin dia berpengalaman," ujar pak Zunaidi.
Tanpa buang waktu Nuri pun mengajak Siska dan Bella membantunya. Dari mencuci beras sampai memasak nasi hingga menanak Nuri berkomat kamit, Siska dan Bella tersenyum karna tingkah Nuri dan rada bingung juga karena belum satu jam nasi yang mereka masak sudah tanak. Nuri tidak lupa memberi sebuah paku pada air tanak nasi dalam dandang yang digunakan. Hal ini jadi pembicaraan murid-murid waktu makan malam tiba.
"Nur! Boleh ibu bertanya?" ucap bu Karin pada saat mereka berkemas-kemas usai makan malam.
"Silahkan, Bu!"
"Kenapa kamu memasukan sebuah paku di dalam dandang nasi?"
"Oh, itu karna nasi yang dimasak tidak diganggu makhluk halus, Bu!"
"Dari mana kamu tahu masalah ini?"
"Dari nenek saya, Bu! Beliau punya keistimewaan dalam hal-hal gaib," jelas Nuri.
"Oh!" Bu Karin mengangguk-ngangguk antara percaya dan tidak. Namun itulah kenyataan yang mereka alami.

Malam pun tiba, api unggun menyala. Seluruh murid dan guru berkumpul. Mereka bernyanyi dan melakukan permainan. Suasana cukup meriah dan memecah kesunyian hutan. Namun tanpa mereka sadari ada sepasang mata merah mengawasi dari balik semak-semak.

Setelah bernyanyi dan bersuka ria, malam pun kian larut. Semua anggota camping mulai lelah dan masuk ke tenda-tenda untuk istirahat. Tinggal beberapa siswa yang mendapat giliran jaga bersama pak Agung.
"Rudi dan Iwan, ikut bapak keliling tenda sebentar!" kata pak Agung pada dua siswa.
"Baik, Pak!" jawab keduanya serempak.
Ketiganya pun berlalu pergi. Sekonyong-konyong,
"Toolooonnnggg!" Teriak sebuah suara.
Para siswa yang berjaga langsung menuju arah suara, rupanya dari tenda siswa putri.
"Tolong! Tolong!" Teriak Bella ketakutan.
"Ada apa, Bel?" tanya pak Agung dari depan tenda.
"Tolong, Pak! Je .. Jeni hilang!" ucap Bella terbata.
"Jeni! Kemana dia?"
"Tadi Jeni tidur di samping saya, Pak! Ta ... tapi sekarang Jeni hilang!" ucap Bella ketakutan.
Bu Rima dan bu Karin datang menghampiri tenda Bella.
"Ayo kita cari! Mungkin Jeni pergi buang air kecil," kata pak Agung menenagkan.
Bergegas pak Agung mengerahkan beberapa siswa dan juga pak Medi, mencari Jeni. Sebagian membawa obor, sebagian ada yang membawa senter. Mereka berteriak memanggil nama Jeni.
"Jen! Jeni!" Panggil mereka bergantian. Tapi tetap tidak menemukan keberadaan Jeni. Sebagian siswa siswi yang di tenda, cemas menunggu kabar keberadaan Jeni. Hampir semua tidak bisa tidur hingga rombongan yang mencari Jeni pulang.
"Bagaimana, Pak Medi? Jeni sudah ditemukan?" tanya bu Rima cemas.
"Belum, Bu! Mungkin kita lanjutkan besok saja, karna anak-anak kelelahan," jelas pak Medi.
Semuanya tegang dan diam, masing-masing dengan pikiran sendiri.
"Anak-anak, sebaiknya kalian istirahat! Biar bapak dan guru lain yang berjaga-jaga!" kata pak Medi.
Sebagian siswa kembali ke tenda, tapi mereka tidak bisa tidur nyenyak. Waktu masih menunjukan pukul 03:15 WIB. Para guru bergantian keliling untuk ronda bersama sebagian siswa.

Pukul 06:20 WIB pak Medi yang sudah bangun dari tidurnya selama satu jam, karena bergantian ronda. Bergegas mengumpulkan beberapa siswa dan guru pria lain, untuk melanjutkan pencarian.
"Pak Agung, Pak Zunaidi! Kita bikin tiga kelompok, masing-masing kita membawa 6 sampai 7 siswa untuk mencari keberadaan Jeni."
"Baik Pak Medi! Memang itu lebih bagus, untuk memperluas pencarian," ucap pak Agung.
Setelah bersiap-siap, para guru pria itu pun memimpin pencarian. Mereka berpencar ke wilayah berbeda, sambil membawa bekal dan alat sekedar berupa tongkat, tali, dan juga berupa senjata seperti parang dan sabit. Karena mereka harus masuk ke hutan yang penuh belukar rimbun.
Rombongan pak Zunaidi ke arah utara, pak Medi memimpin ke arah selatan, sedangkan pak Agung menuju arah barat. Setelah hampir setengah jam berjalan, rombongan pak Agung berhenti di suatu tempat dalam hutan.
"Pak! Coba bapak lihat! Apa ini?" ucap salah satu siswa yang menemukan sesuatu di semak-semak.
"Apa yang kamu temukan?" tanya pak Agung.
"Ini seperti cabikan kain, Pak! Ada bercak darah di sini!" kata siswa itu kembali.
Pak Agung meraih cabikan kain itu, sambil mengernyitkan kening pak Agung berucap "kajn ini masih baru, dan darah yang membekas juga masih baru."
Para siswa yang terdiri dari 6 orang mengerumuni pak Agung. Dengan perasaan tegang mereka menunggu perintah guru itu.

Lama pak Agung diam dan mengamati cabikan kain di tangannya. Hingga salah satu siswa menyentak lamunan guru itu.
"Pak! Apa kita akan teruskan pencarian?"
"Sebaiknya kita pulang ke perkemahan, dan memberi tahu guru yang lain tentang ini," jawab pak Agung.
Entah mengapa firasatnya begitu tidak enak. Kemudian rombongan pak Agung pun kembali ke tempat camping. Bu Rima yang melihat kedatangan pak Agung beserta rombongan, cepat-cepat menghampiri.
"Bagaimana Pak Agung? sudah ketemu Jeni?"
"Belum, Bu! Kami malah menemukan cabikan kain ini, Ibu kenal dengan motif kain ini?" tanya pak Agung.
Bu Rima mengamati cabikan kain di tangan pak Agung. Rasa-rasanya dia pernah melihat tapi entah di mana. Sementara rombongan pak Zunaidi juga sudah kembali ke tempat camping, dengan tangan kosong pula. Dari jauh seorang siswa berlari menghampiri. Sesampainya di tempat, siswa itu berbicara dengan terengah-engah.
"Pak! Ikut saya ke dalam hutan! Pak Medi menunggu di sana!"
Tanpa banyak bicara, kedua guru itu pun mengikuti siswa tersebut. Sambil berlari kecil mereka menuju ke tempat pak Medi dan rombongan. Dari jauh mereka memandang ke arah sebuah pohon besar di dalam hutan itu. Tampak sesosok mayat bergelantungan di atas.
"Pak Medi! Itu Jeni!" Ucap pak Agung tak percaya.
"Iya!" jawab pak Medi singkat dan lirih.
"Astaga! Apa yang sudah terjadi pada Jeni?" ucap pak Agung terpukul dengan temuan itu.
"Sebaiknya kita turunkan dulu mayat Jeni, agar tahu apa dan bagaimana keadaannya," kata pak Zunaidi pula.
Dengan sigap pak Zunaidi memanjat pohon yang cukup besar dan tinggi itu. Sedangkan rombongan yang menunggu di bawah begitu tegang dengan situasi yang ada. Pak Medi tidak tahu harus berkata apa-apa, karena pertanggung jawaban terhadap siswa ada di tangannya. Setelah jasad Jeni diturunkan. Mereka melihat ada luka gigitan yang cukup dalam di bagian leher Jeni. Seolah tercabik-cabik binatang buas. Tapi bagaimana bisa Jeni bergelantungan dengan akar pohon di atas sana, itu yang tidak bisa dipahami. Kemudian mereka pulang ke tempat camping.
Tangisan dan jeritan pun pecah ketika semua tahu Jeni telah meninggal, apa lagi bu Rima dan bu Karin. Seluruh peserta camping ricuh karena kejadian itu.
"Pak Medi! Apa yang harus kita utarakan kepada orang tua Jeni atas kejadian ini?" tanya bu Rima di sela tangisannya.
"Kita harus lapor polisi atas kejadian ini, Bu!" ucap pak Medi.
"Sebaiknya kita berkemas-kemas dan pulang!"
"Hari sudah mulai gelap, Bu! Kita tidak bisa pulang sekarang, tapi besok pagi kita baru bisa kembali ke kota," jelas pak Agung pada semua yang berada di sana.
Mau tidak mau memang mereka harus menginap semalam lagi. Karena hari sudah mulai gelap dan mereka tidak bisa ambil resiko untuk keluar hutan saat itu juga. Belum lagi kendaraan untuk pulang juga tidak ada, karna perjanjian dengan bus yang mengantar datang pada hari ke 5 dari jadwal yang ditentukan. Pak Zunaidi pun mengambil sebuah terpal untuk membungkus jasad Jeni. Sedangkan pak Medi diam terpaku merasa sangat terpukul atas kejadian itu. Malam sudah datang, api unggun pun dinyalakan. Bahkan setiap sudut tenda mereka menyalakan api unggun, untuk berjaga-jaga dari serangan binatang buas. Siswa dan siswi berserta guru berkumpul di tengah-tengah tenda. Suasana berkabung sangat terasa malam itu, sebab kejadian sesungguhnya masih jadi teka-teki. Beberapa siswa berbisik-bisik membicarakan hal tersebut. Namun tiba-tiba angin berhembus kencang. Bersamaan itu, berkelebat sesosok tubuh yang melayang cepat dan menyambar salah satu siswa.
"Tolong! Tolong!"
"Hei! Lepaskan anak itu!" Bentak pak Medi berdiri dan mengejar tubuh yang melayang.
"Aaakhh!" Suara jerit tersengak dari atas pohon tempat tubuh siswa yang disambar kemudian jatuh ke tanah terlempar dari atas.
"Aaaaahhhh!" Jerit semua panik.
"Hihihihihi ...!" Sosok di atas pohon terkekeh puas. Tubuh itu pun melayang dan tertawa dengan lengkingan menakutkan. Rambut panjang menjutai tak beraturan, dengan wajah samar tapi mengerikan. Ditambah kuku dan taring panjang, entah makhluk apa sosok itu.
"Hihihihihihi ...!" Tawa menakutkan itu terbang berputar-putar di atas mereka yang berlari ketakutan. Ada yang masuk ke tenda, ada pula yang berpelukan sambil menangis gemetar. Sebagian siswa laki-laki dan guru pun memegang senjata tajam dan tongkat.mereka memberanikan diri untuk melawan seandainya di serang. Pak Zunaidi melempar tubuh yang melayang-layang itu dengan api obor. Diikuti oleh siswa yang lain. Tapi lemparan itu sia-sia, makhluk itu semakin terkekeh melecehkan tindakan pak Zunaidi.

Bersambung  5

Posting Komentar untuk "Cerita Misteri Terseram Wanita pengecap darah"