Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerita Misteri Populer Misteri Buku Berdarah

Oleh : Redd Joan Member Komunitas Bisa Menulis (KBM)

"Tidak ada misteri buku berdarah di perpustakaan ini, aku tegaskan sekali lagi. Jangan membuat cerita yang tidak benar dan justru mengurangi niat baca para pengunjung! Kalau ada di antara kalian membuat hal-hal bodoh tentang hantu di sini lebih baik jangan datang kemari, paham!?"
Arman bicara dengan tegas kepada beberapa mahasiswa yang di catatnya telah menyebarkan kejadian horror di perpustakaan.
Sore hampir gelap Arman berjalan cepat menuju rumah Ratih, hujan gerimis tidak di hiraukan.
"Kamu minggu depan harus pindah ke luar kota ini Ratih, aku akan siapkan rumah kontrakan untuk sementara waktu. Tinggalah di sana dan bersikaplah biasa... Ok?"
Lagi-lagi suara tangisan itu muncul, jelas terdengar dari belakang rak buku paling ujung.
Di sana terdapat satu meja dan kursi juga beberapa buku besar catatan perpustakaan.
Mei merinding beku tubuhnya tidak berani bergerak.
"Sandi kau dengar suara tangisan itu?" Bibirnya gemetaran.
"Aku tidak mendengar apa-apa Mei, kamu jangan mulai lagi atau Pak Arman akan menghardik kita. Aku butuh banyak referensi buku dari sini..."
Sandi sibuk membolak-balik buku tebal di depannya dan mulai mencatat.
"Sandi, aku pulang duluan aja. Perasaanku enggak enak..." Mei mengemas buku-buku, berjalan menuju rak buku nomer tiga untuk meletakkan kembali.
Tiba-tiba dia mendengar ada suara benda terjatuh, mungkin beberapa buku.
Dia berbalik arah, melihat pada rak paling ujung itu.
Mei mengatur napas dan berusaha mengalihkan pikiran yang bukan-bukan tentang suara tangisan atau apapun itu.
Beranikan diri berjalan ke arah sana perlahan-lahan.
Begitu terkejutnya Mei menyaksikan pemandangan yang begitu mengerikan.
Darah berceceran di lantai ruang sempit itu dan bau anyir menyengat hidungnya.
Mei menutup mulut sambil matanya terbelalak tidak bisa menjerit melihat pemandangan yang begitu mengerikan.
Buku didekapannya jatuh di lantai, Mei rasa mual dan ngeri.
Hampir terjatuh lemas, di gapainya kayu rak buku lalu berbalik badan bergegas meninggalkan tempat itu.
Di ambilnya tas dari kursi tanpa berkata apa-apa kepada Sandi, Mei langsung berjalan keluar.
Tidak di rasa oleh Mei sepasang mata mengikutinya sampai dia menghilang dari balik pintu perpustakaan.

Mei mengambil segelas air kemudian menarik kursi dan duduk termenung. Kejadian ganjil dan mengerikan itu terus menerus terbayang di pelupuk matanya.
Sambil berkali-kali dia mengernyitkan dahi coba melupakan tapi semakin jelas saja kejadian itu dalam pikirannya.
Dia menelungkup di meja kedua tangannya memegangi kepala. “hufftt… misteri apa ini?!”
Tiba-tiba dia terkejut seperti punggungnya di tepuk seseorang, reflek dia menoleh kebelakang dan tidak sengaja tangannya menyenggol gelas dan pryang! Gelas jatuh pecah di lantai berhamburan.
Dia perhatikan sekeliling tidak ada orang lain di dapur.
“… mungkin aku tertidur tadi”
Mei mengeluh lalu bangkit ambil sapu membersihkan serpihan gelas.
Di liriknya jam tangan, menunjukkan pukul satu lebih dini hari.
Rumah lengang, orang tuanya pergi keluar kota mengunjungi nenek yang sakit.
Bik Yun juga ikut karena di sana butuh seorang yang bisa merawat nenek. Dendi pamit tidur di rumah kawan selesaikan project sekolah.
Mei melangkah masuk kamar, duduk depan meja belajar buka laptop dan mulai mengetik.
“Aku yakin melihat darah itu berceceran di lantai ruang belakang perpustakaan, tubuh seorang perempuan telungkup dengan kepala berdarah tangan terikat di belakang.
Juga suara tangisan yang selalu menggangguku setiap kali aku mulai membaca buku di perpustakaan itu. Tapi anehnya tidak ada yang mendengarkan atau setidaknya ada di antara mereka ada yang melihat tubuh tergeletak mungkin sudah berapa lama di situ, entahlah…
Selain statement pak Arman yang mengancam beberapa mahasiswa yang sempat menghebohkan isu horror aku tidak yakin hal ini adalah sekedar isu tidak beralasan."
Click save lalu off. Mei menutup laptop dan beranjak ke tempat tidur mencoba untuk lelap.
Di sebuah kamar kontrakan, Ratih demam dan tubuhnya terasa lemas. Hari ini mau ke dokter tapi hujan tidak berhenti.
Dia menggapai HP menekan beberapa nomer.
“…besok kamu bisa datang enggak? Aku tidak kuat lagi. Kalau terus begini aku bisa mati sekarat, tidak tahu apa penyakitku… jangan beralasan terus!” di bantingnya handphone ke atas meja, dia berbaring lagi dengan perasaan berkecamuk.
Matanya ingin terpejam tapi sulit, semakin dia ingin melakukannya semakin dia tidak bisa.
Di tambah lagi rasa sakit yang cukup membuatnya tidak tenang, keringat dingin bercucuran mual dan panas tinggi.
“Selamat ya bu, hasilnya positif…”
Dokter menunjukkan test pack ke arahnya.
Reaksi pertama Ratih adalah pucat dan gemetaran, tapi bibirnya menipu dengan tersenyum.
Lagi berpura-pura mendengarkan nasehat dokter untuk makan beberapa vitamin, istrahat cukup lalu menyerahkan resep obat dan Ratih mengangguk “Terimakasih…" katanya, sambil bangkit dari tempat duduk dan keluar dari ruang periksa kemudian bergegas pulang.
Perjalanan macet alasan keterlambatan disampaikan Arman kepada Ratih, ini klise tapi benar-benar bikin stress.
Sesampai Arman di kontrakan, Ratih sudah berangkat sendiri ke klinik tidak menunggu kedatanganya.
Dia langsung masuk ke dalam dan menunggu Ratih sambil istirahat.
Setibanya Ratih di rumah dia sempat terkejut melihat Arman sudah di dalam. Dia tidak melihat mobil Arman parkir di halaman depan.
"Arman...” panggil Ratih lalu menghambur ke pelukan Arman yang menyambut dengan lebih hangat, dia mengelus lembut punggung Ratih lalu mencium keningnya.
Gerimis mulai turun di luar sana, kehangatan dan gelora rindu mengikat mereka berdua.
Saling memagut dan melepaskan rasa bergumul hingga demam Ratih terlupa menguap bersama deru nafas silih berganti menjadi lelah yang menidurkannya dalam lelap kemudian.
Arman bangkit menyulut rokok, mengepulkan berkali-kali sambil matanya tidak pergi menelanjangi tubuh Ratih yang tergolek di pembaringan.

Ratih berusaha menahan tubuh, kedua tangannya mencengkeram dari tarikan kuat yang tiba-tiba di rasakan ketika dia tengah berbaring.
Dia tidak melihat apapun, yang di rasakan hanyalah kedua kakinya naik seperti ada yang menarik dengan sangat kuat.
Ratih menjerit ketakutan, tidak mampu menahan dan akhirnya dia lepas kendali.
Tubuhya berputar beberapakali di udara dan dihempaskan ke lantai.
“Aaaarrrhhh…” teriakan Ratih tertahan menahan sakit sekujur tubuhnya dan sangat ketakutan.
Dia menyeret tubuhnya ke samping tempat tidur, berusaha meraih hp dengan gemetar tapi belum sempat dia melakukan panggilan entah darimana datangnya hp seperti di rebut dan di buang ke lantai hingga pecah.
Ratih semakin histeris tidak di sadari darah mengalir dari selangkangannya dia merangkak meraih handle pintu kamar tapi terkunci.
“Bukaaaa…tolonglah buka pintunyaa…” teriaknya entah kepada siapa sambil di pukul-pukul pintu tapi tidak ada seorangpun mendengar.
Akhirnya Ratih terjatuh lemas tidak sadarkan diri.
Pengunjung perpustakaan tidak hanya terdiri dari mahasiswa unversitas setempat akan tetapi banyak juga datang dari universitas lain.
Bangunan perpustakaan di desain dengan gaya dinamis dinding ruang di cat paduan warna hijau daun dan kuning, juga beberapa lukisan yang di padu padan dengan tokoh terkenal dan ilmuwan.
Di dukung dengan koleksi buku-buku dari semua jenis keilmuan dan pengetahuan umum lain memudahkan pengunjung untuk tidak perlu susah payah mencari kelengkapan yang diperlukan dengan pergi ke perpustakaan lain.
Arman sudah lama bekerja sebagai penjaga sekaligus ketua koordinator perpustakaan.
Selain dia seorang penulis novel dan sebagai pengajar di sebuah lembaga kursus Bahasa Asing.
Sudah berkeluarga dan punya dua anak.
Tetapi dia punya hubungan dengan Ratih, seorang mahasiswa yang bekerja sebagai salah satu staff perpustakaan.
Awalnya hubungan mereka sekedar teman berbagi setelah pada banyak hal mereka sering melakukan bersama akhirnya Arman dan Ratih jatuh lebih dalam lagi pada hubungan yang terlarang dan lupa diri.
Menyadari kesalahan yang sudah terlambat, Arman merasa khawatir apabila hubungan tersebut di ketahui orang lain terutama istri dan anaknya yang tidak bersalah.
Akan tetapi Ratih begitu baik dan bisa menerima keadaan mereka, meskipun ada beberapakali dia menginginkan status yang sah dan jelas, tapi apa boleh buat Arman tidak berani melakukan itu.
Suatu sore Ratih sedang berada di ruang belakang perpustakaan untuk memeriksa pembukuan dan merapikan beberapa buku dalam rak, Arman datang memeluknya dari belakang. Ciuman demi ciuman semakin melenakan mereka berdua.
Via tersentak menyaksikan dua orang yang jelas dikenalnya itu setengah telanjang.
Di saat yang hampir bersamaan Arman dan Ratih pun terkejut dan tidak menunggu lama mereka melepaskan pelukan dan saling pandang.
Selanjutnya Via segera mundur dan ingin pergi menghindari sesuatu yang lebih tidak enak lagi.
Akan tetapi Arman dengan cepat menarik tubuh Via dipaksa masuk mendorongnya terjerambab di lantai.
Via melawan akan tetapi Arman jauh lebih kuat.
Arman menghantamkan kepala Via ke lantai berkali-kali, sampai pada detik terakhir Via tidak bergerak lagi.
"Kamu jangan hanya berdiri saja Ratih, tutup mukanya dengan buku tebal itu" teriak Arman.
"Ambil tali dalam laci sana aku mau ikat tangannya"
Ratih gemetar ketakutan tapi tidak berani menolak, dia membantu Arman mengikat ke dua tangan Via ke belakang.
Yang ada dalam pikiran Arman hanyalah menyelamatkan nama baik mereka berdua.
Jangan sampai apa yang telah mereka lakukan di ketahui orang.
Hal ini bisa mengancam pekerjaan juga kehidupan rumah tangganya, dia sudah gelap mata.
Darah berceceran di lantai tubuh Via tidak bergerak lagi, Ratih menggigil pucat pasi ketakutan.
Arman terdiam sambil berpikir bagaimana menghilangkan jejak pembunuhan mereka.

Sandi kembali menekuni buku di depannya berusaha tidak perduli dengan sosok seorang gadis yang terlihat hilir mudik di dalam ruangan sudut perpustakaan.
Semakin menunduk semakin besar niatnya untuk lebih memperhatikan. Akhirnya dia mengangkat sedikit wajahnya dan melihat ke arah gadis itu menunduk entah apa yang di lihat di lantai sana.
Wajahnya tertutup rambut jatuh sebahu, tidak lama kemudian dia menoleh kearah Sandi dengan pandangan seperti ketakutan.
Tiba-tiba Sandi dikejutkan teguran Mei, "Heiiii... lihat apa serius banget kamu" sambil dia menjatuhkan buku ke atas meja.
"Owh, aku..." katanya sambil dia menoleh ke arah gadis itu, akan tetapi sudah tidak ada di sana bahkan dia melihat sekeliling ruang perpustakaan Sandi tidak menemukan sosok itu lagi.
"Aku tahu kau juga melihatnya Sandi" kata Mei padanya.
"Shit...! Aku tidak suka ini, huuftt" jawab Sandi jengah tapi dalam hati diliputi berbagai tanda tanya.
"Ayolah Sandi kita selesaikan semua ini, tapi please janji hanya kamu dan aku" bujuk Mei sambil berbisik.
Akhirnya mereka sepakat untuk mencari jawaban misteri gadis yang sering muncul dan penuh misteri.
"Aku ikut..." tiba-tiba Dedi duduk di sebelah Sandi.
"Aku juga pernah melihatnya, dia sering datang kesini tapi aku yakin dia bukan mahasiswi universitas kita San" jelas Dedi
"Hari itu aku datang untuk mengambil headset yang tertinggal, aku melihat dia sedang membaca dan membuat catatan ketika aku mendekatinya untuk sekedar menyapa dan berkenalan, namanya Via.
Tapi setelah hari itu aku tidak pernah melihatnya lagi, kecuali pada saat perpustakaan hampir tutup di suatu sore aku bergegas keluar dan melewati ruang paling sudut di sana itu.
Sumpah! aku yakin postur tubuhnya sama persis tapi aneh, dia hanya berdiri terpaku menatap barisan buku membelakangiku, tentu saja aku tidak berani menegurnya karena entah mengapa tiba-tiba bulu kudukku berdiri...”
Setelah mereka bersepakat untuk meyiasati keanehan yang sama-sama di alami, masing-masing kembali diam. Karena Arman berjalan ke arah mereka, "Kalian kalau mau diskusi silakan pergi ke kantin..." tegurnya.
"Maaf pak…" jawab Sandi.
Setelah Arman pergi, Mei mengajak mereka untuk segera keluar dan membicarakan rencana selanjutnya di cafe seberang perpustakaan.
Sudah dua hari Ratih tidak masuk kerja, dia hanya mengirim pesan kepada Arman bahwa dia tidak enak badan. Malas bicara juga menerima telepon dari Arman.
Sebenarnya Ratih ingin memberitahu tentang kehamilannya kepada Arman, akan tetapi urung karena peristiwa malam itu dia telah kehilangan janin dalam kandungannya.
Bahkan dia masih dalam perawatan di sebuah rumah sakit bahkan diapun tidak berani memberi khabar orang tuanya.
Malam itu dia ditemukan pingsan oleh Ibu kost dalam keadaan sangat mengenaskan.
Ratih dikejar rasa bersalah, teringat peristiwa pembunuhan malam itu dia selalu dihantui ketakutan luar biasa.
Akibat dari kejadian itu dia tidak leluasa keluar masuk perpustakaan juga masuk kuliah, Ratih tidak bisa menyembunyikan rasa ketakutan apabila bertemu orang-orang yang sering dijumpainya di sana, meskipun Arman selalu bilang, "kamu harus bersikap sewajarnya..."
Mulanya dia bisa sedikit merasa tenang apabila Arman berada di sisinya,
"Tenanglah, jangan panik... semua akan selesai dan kita tidak akan berurusan dengan pihak berwajib. Tidak ada jejak yang kita tinggalkan dan bisa diketahui oleh orang lain"
Sejak Ratih mengalami peristiwa yang sangat mengerikan malam itu bahkan hampir merenggut nyawanya, Ratih merasa yakin bahwa itu adalah arwah Via yang membalas dendam padanya. Mungkin dia akan melakukan lagi hal yang lebih parah sampai dia bisa membalaskan dendamnya.
"Aku tidak boleh tinggal diam, tapi apa yang harus aku lakukan? Ini seperti selamat dari mulut harimau masuk ke mulut naga... aku harus meminta tolong seseorang".
Dia meraih hp dan menekan nomer dalam daftar kontak, "Ahhh!! Aku menyimpannya dalam hp yang sudah hancur itu..." Ratih berpikir keras bagaimana mendapatkan nomer yang di inginkan.
Dia yakin Mei bisa membantu dan merahasiakan apa yang akan dia sampaikan.
"Saya tidak tahu kemana Ratih pergi... beberapa hari ini saya tidak melihat dia pulang". Bu Gandi terpaksa menuruti pesan Ratih untuk berbohong kepada Arman.
Arman tidak habis pikir kenapa Ratih tidak pernah mau angkat telpon sejak dua hari lalu kirim pesan, di kamarnya pun tidak ada tanda apa-apa atau sekedar pesan untuknya.
Dia mulai khawatir bukan hanya tentang keselamatan Ratih tapi lebih kepada rahasia mereka berdua,
"Jangan-jangan dia menghindariku karena ingin cari selamat sendiri atau dia akan melakukan hal lain... tapi apa? Kenapa Ratih tiba-tiba berubah begini"
pikir Arman sambil mondar-mandir di kamar Ratih, tidak lama kemudian dia keluar dan pergi menuju perpustakaan.
Ratih curi-curi keluar dari rumah sakit, dia lolos dari pengawasan suster jaga ataupun petugas rumah sakit.
Tujuannya adalah perpustakaan, tidak lama kemudian sebuah taksi datang, "Perpustakaan Universitas Dharma, Pak..." Katanya sambil masuk ke dalam taksi.
Sesampainya di depan perpustakaan, suasana sudah mulai sepi.
Dia melihat sekeliling sebelum turun membuka pintu,
"Pak tunggu sebentar ya, nanti saya kembali dan hantar saya ke rumah sakit lagi" pesannnya kepada sopir taksi.
"Ya neng, saya tunggu di sini"
Setelah membayar ongkos taksi Ratih berjalan menuju pintu samping perpustakaan.
Dirabanya kantong baju lalu mengeluarkan kunci pintu, membukanya perlahan berharap tidak ada pekerja lain yang sedang mengatur buku ke dalam rak atau sebagainya.
Tidak ada seorangpun di sana, mereka tutup lebih awal.
Ratih berjalan menuju meja counter menyalakan komputer menekan password.
Mengambil sekeping kertas menulis beberapa nomer, dia telah menetapkan pilihan untuk mencoba hubungi Mei.
Tidak sulit menemukan nomer telepon Mei karena dia terdaftar sebagai anggota perpustakaan.
Ratih membuang rasa takut, bahkan dia tidak sekalipun menoleh ruang belakang tempat kejadian keji itu berlaku.
Setengah berlari menuju pintu mendengar suara buku berjatuhan dari sana bahkan seperti mengejarnya.
Segera dia keluar dan mengunci pintu menuju mobil taksi yang masih menunggunya di pinggir jalan, tetapi kakinya terantuk batu taman.
Tubuhnya yang masih belum pulih limbung jatuh terjerembab.
Sambil mengaduh kesakitan Ratih mencoba untuk bangun dan begitu terkejut ketika sepasang kaki telah berdiri sejengkal dari kepalanya.

To be continued

Posting Komentar untuk "Cerita Misteri Populer Misteri Buku Berdarah"